Dhito DH

Daftar Penulis Favorit

In Tokoh on 4 March 2010 at 8:29 AM

Menyajikan tulisan  dari tokoh yang kami kagumi,  tulisannya maupun actionnya.

 

1. Pujangga dan Ulama Buya Hamka

  

2. Pemimpin dan Pemikir Islam Anis Matta

 

3. Pejuang Ekonomi Syariah A. Riawan Amin

 

4. Penyair dan Pejuang Moral Taufik Ismail

 

5. Ilmu manajemen praktisnya keren, Menteri BUMN Dahlan Iskan

 

6. Penceramah dan Penulis Buku  Salim A. Fillah

 Rhenald Kasali

7. Ilmunya membumi, Pakar Manajemen Rhenald Kasali

Rhenald Kasali – Deep Understanding

In 7. Rhenald Kasali on 12 August 2011 at 12:25 PM

Salah satu teka-teki yang masih saya ingin tahu jawabannya – sepanjang lebih dari 25 tahun menjadi pendidik adalah: mengapa anak-anak kita kesulitan mengungkapkan isi pikirannya. Maksud saya, kalau diberi pertanyaan, kok jawabannya pendek sekali dan ingin cepat-cepat selesai.

Selain tidak argumentatif, terasa miskin dalam konsep. Di Harvard Michael Porter, guru besar ilmu manajemen terkemukan yang menularkan metode pengajaran partisipatif pernah memberi tahu resepnya. “Ajukan cold call , tunjuk seseorang secara mendadak, lalu gali perlahan-lahan. Mereka mungkin kurang siap, tetapi buatlah sebersahabat mungkin agar mereka nyaman berbicara.”

Saya pun menerapkannya, dan ternyata hanya berhasil di tingkat pendidikan S2 dan S3. Di tingkat S1, saya butuh waktu banyak sekali untuk menggali dan mengeluarkan isi pikiran mahasiswa saya. Dan kalau dikejar lebih jauh mereka menjawab seragam: “ya gitu deh!” Dan kalau sudah mentok, keluarkanlah jargon asyiknya: “Au ah, gelaap…”

Tetapi saya tidak menyerah. Sampai dipertengahan semester, satu persatu mulai berani memberi jawaban yang agak panjang, lebih panjang, lebih menyatu dan sistematis. Dan tahukah Anda, disitulah letak kebahagiaan seorang pendidik, yaitu saat anak-anaknya mendapatkan apa yang disebut “deep understanding”

Hubungan Kompleks

Orang dewasa seperti Bapak dan Ibu yang telah lulus menjadi Sarjana dan bekerja, barangkali pernah merasakan betapa sulitnya memahami hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori. Nah, kemampuan seorang anak menangkap hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori atau konsep itulah yang kita sebut sebagai deep understanding. Jadi bukan sekedar tahu banyak hal namun serba sedikit.

Bukanlah sekedar menguasai permukaan-permukaaan saja yang ngepop, atau sekedar fragmented pieces of information. Deep understanding sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, dan untuk itulah seorang guru dituntut untuk bersabar dan memeriksa apakah betul murid-muridnya sudah paham dan bisa mengerjakannya.

Pendidikan seperti itulah yang sebenarnya dirindukan anak-anak kita. Bukan seperti sekarang yang dikenal anak-anak dengan istilah SKS (Sistem Kebut Semalam). Guru-guru yang bijak tahu persis otak manusia memerlukan waktu untuk merangkai satu elemen dengan elemen-elemen lainnya. Ibarat orang membuat kue lapis legit, dibuatnya harus dengan penuh kesungguhan, dari selapis tipis yang satu ke lapisan tipis berikutnya.

Sebaliknya , metode sistem kebut satu malam yang banyak dianut dewasa ini sepertinya sangat mengabaikan kapasitas belajar para murid. Guru ingin cepat-cepat berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya. Penjelasan-penjelasan mendasar sebuah konsep sering terputus, sehingga anak-anak kesulitan memahami suatu konsep secara mendalam. Cara seperti ini sungguh kejam. Ibarat sopir metro mini atau taksi liar, guru bisa dipacu menjadi ”sopir tembak” yang ugal-ugalan ”kejar setoran”.

Tidak mengherankan bila menjelang ujian, guru, dan murid sama-sama panik. Guru-guru yang cerdik tentu tak kehilangan akal, digunakanlah dulu yang kita kenal sebagai ”jembatan keledai” saat ujian di SLTA dulu tentu mengerti mengapa disebut demikian.

Guru dan murid telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam pendidikan, yaitu waktu. Kita tak bisa menyimpan waktu, apalagi membelinya. Tetapi kita tidak bisa memberi mereka waktu yang lebih banyak untuk  pendalaman suatu konsep. Caranya sederhana saja, rampingkan jumlah mata ajaran yang harus diberikan dan berikan metode yang lebih aktif – kolaboratif.

Saya sering diprotes oleh orang-orang yang khawatir mata ajarnya tidak relevan lagi bila pemerintah kelak mendengarkan tulisan reflektif ini dengan mengurangi jumlah mata ajaran yang harus diambil para murid. Tetapi selalu saya katakan kita harus berani berkata jujur bahwa anak-anak kita telah mengalami penyiksaan otak yang rawan. Dan impaknya sudah kita rasakan saat ini dengan beredarnya orang-orang bergelar hebat, pintar, tahu banyak, tetapi selalu bingung harus bergerak kemana dan harus memulai dari mana.

Kreatif dan Reflektif

Saat menulis kolom ini saya pun tengah membongkar-bongkar program-program belajar dari berbagai sekolah di manca negara. Bila  disimak tulisan-tulisan saya dua minggu terakhir, perampingan-perampingan telah diambil sejumlah bangsa dalam beberapa tahun terakhir ini.

Di sebuah sekolah di Jepang saya menemukan sebuah buku pedoman belajar dengan tujuh pilar, yaitu: Berpengetahuan dengan ” deep understanding,” mampu berpikir kompleks dan menjadi pemecah masalah, kreatif namun reflektif, menjadi kontributor yang bertanggung jawab, termotivasi dan terkendali, independen namun interdependen, dan mampu menjadi komunikator yang efektif.

Ketika saya masukan kata-kata kunci di atas di mesin pencari di internet, saya pun menemukan kesamaan dari banyak sekolah di negara-negara maju bahwa melahirkan orang kreatif saja tidak cukup, namun juga harus menjadi kontributor yang bertanggung jawab dan reflektif. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita membentuk manusia-manusia seperti itu? Anda mungkin mulai merasakan kegalauan-kegalauan saat orang-orang kota yang sudah memiliki kendaraan (roda dua maupun roda empat) tidak bisa membedakan (bahkan tidak tahu cara memakai) antara klakson dengan rem. Saat posisi di jalan raya kejepit atau tidak bisa menyusul, bukan rem yang dipijak, melainkan kelakson.

Saya tidak tahu  apa jawaban yang harus diberikan untuk membuat seseorang menjadi hebat, tetapi mungkin saya tahu apa kunci kegagalan yang akan dialami bangsa ini. Yaitu, saat kita merasa bangga dengan banyak pelajaran yang kita dapatkan, padahal semua itu hanya kulit-kulitnya saja. Hanya sepotong-sepotong, miskin pendalaman dan tidak reflektif.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

 

Sindo 21 Juli 2011

Rhenald Kasali – Paspor

In 7. Rhenald Kasali on 12 August 2011 at 11:48 AM

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport.  Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan.  Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport.  Setiap mahasiswa  harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril.  Dua minggu kemudian,  mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini?  Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu.   Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam.  Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu.  Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.  Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan.  Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang.  Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.  Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.  Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu  tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring.  Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian.  Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar.  Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara.  Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi.  Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan,  dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri.  dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat.  Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun.  Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia.  Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching.  Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini.  Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya.  Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi.  Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani.  Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri.  Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya.  Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan.  Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak.  Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan.  Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh.  Rasa percaya diri mereka bangkit.  Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport.  Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri.  Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat.  Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

 

Jawapos 8 Agustus 2011